GKI Denpasar

Visi Misi GKI Denpasar

INOVATIF: RELEVAN DI TENGAH DUNIA

“Innovation is the only way to win”, itulah salah satu prinsip yang dihidupi oleh Steve Jobs manakala ia membangun Apple. Dia menghayati bahwa inovasi adalah jalan satu-satunya untuk dapat menang dan bertahan dalam dunia bisnis teknologi yang dijalaninya. Tidak heran sampai saat ini Apple dapat bertahan dalam perubahan zaman yang begitu luar biasa. Apple menjadikan dirinya sebagai sebuah perusahaan teknologi yang begitu inovatif, yang tidak pernah lelah melakukan inovasi-inovasi dalam setiap produknya.
Inovasi tidak hanya dibutuhkan dalam dunia bisnis, tetapi juga dalam pelayanan Gereja. Selain berdoa, Gereja perlu berinovasi dalam pemberitaan Kabar Baik dan pengajaran, agar pelayanan terus meningkat dan semakin banyak jiwa dapat mengenal kasih Tuhan. Di Alkitab, Allah memakai metode yang berbeda-beda untuk bicara dengan umat-Nya. Dalam surat Ibrani pasal 1 ayat 1 dituliskan: “Setelah pada zaman dahulu Allah berulang kali dan dalam pelbagai cara berbicara kepada nenek moyang kita dengan perantaraan nabi-nabi.” Perhatikan kata: “dalam pelbagai cara”, itu artinya bahwa Allah pun berinovasi ketika menyatakan Firman-Nya. Tuhan menggunakan berbagai cara untuk berkomunikasi dengan umat-Nya.
Pelayanan Yesus sendiri pun juga tidak lepas dari inovasi. Dia mengajar dengan berbagai macam metode, yaitu: berkotbah diatas perahu, diatas bukit, menggunakan banyak perumpamaan, dan bahkan Yesus sangat piawai menggunakan benda-benda yang ada di sekitar-Nya sebagai alat peraga untuk menyampaikan ajarannya (roti, anggur, basuh kaki). Tidak heran jika Alkitab merekam bahwa ajaran Yesus sangat digemari oleh orang banyak saat itu.
Untuk menjadi relevan di tengah dunia ini, Gereja harus berani melakukan perubahan. Dalam alam pikir ini kita memandang bahwa perubahan adalah kebutuhan, bukan hambatan. Jikalau Gereja ingin menjadi sebuah lembaga yang ingin tetap relevan, maka Gereja nampaknya juga harus berani untuk menginovasi diri agar tetap bisa eksis di tengah dunia ini. Gereja harus berani membuka diri dengan hal-hal baru! Hal ini perlu senantiasa digemakan, khususnya di GKI, Gereja yang memiliki sejarah dan tradisi panjang. Tradisi (atau kebiasaan) di Gereja berpotensi menjadi sebuah belenggu jika kita tidak mendialogkannya dengan konteks kekinian. Apalagi GKI adalah Gereja reformasi, yang tentu juga punya semangat untuk senantiasa mereformasi (baca: menginovasi) diri demi menjawab tantangan zaman.

BERSAHABAT: MERANGKUL YANG ASING

Selain menginovasi diri demi menjawab kebutuhan zaman, Gereja juga tetap harus mengingat siapa dirinya. Lalu apa yang kita imajinasikan ketika kita membayangkan “Gereja”? Menurut Pdt. Joas Adiprasetya, imajinasi kita tentang Gereja akan menentukan bagaimana kita membuat dan membangun Gereja ini. Kalau imajinasi kita adalah bahwa Gereja merupakan tempat berkumpul para murid, maka seluruh programnya adalah untuk pemuridan: belajar, pemahaman Alkitab, bertumbuh terus. Jadi fokusnya thinking (berpikir). Kalau kita membayangkan Gereja sebagai persekutuan para pelayan, maka fokusnya adalah
doing (melakukan sesuatu), melayani, aktif ini dan itu. Pada visi baru ini, kita akan mencoba membayangkan Gereja sebagai komunitas yang bersahabat. Maka fokus kita tidak lagi sebatas thinking atau doing, tapi being (menjadi sesuatu). Our being is friendship. Menjadikan persahabatan sebagai identitas kita.
Kalau kita “murid”, kita membahasakan diri sebagai murid, dan Yesus sebagai guru. Kalau kita membahasakan diri kita sebagai “pelayan” – dan itu benar – maka Yesus adalah Tuan yang terus kita layani. Namun kalau kita membayangkan, “saya ini sahabat”, Yesus juga adalah sahabat. Jadi Anda lihat betapa uniknya tema persahabatan ini, dan itulah yang dipahami oleh Yohanes ketika ia menyapa komunitasnya: “Damai sejahtera menyertai engkau! Salam dari sahabat-sahabatmu. Sampaikanlah salamku kepada sahabat-sahabat satu per satu.” (3 Yohanes 1:15). Disini Yohanes menyapa komunitasnya dengan sapaan: “Sahabat”.
Berkenaan dengan hal itu ada satu ayat menarik di dalam surat yang sama, yaitu 3 Yohanes 1:5. Dalam konteks persahabatan itu, ia berkata, “Saudaraku yang kekasih, engkau bertindak sebagai orang percaya, di mana engkau berbuat segala sesuatu untuk saudara-saudara, sekalipun mereka adalah orang-orang asing.” Jadi definisi orang percaya – menurut Yohanes – adalah kalau orang itu melihat orang asing tapi memperlakukannya sebagai saudara. Ini berbeda kalau imajinasi kita, “Saya ini murid”, maka orang percaya adalah orang yang tahu apa yang dipercayainya, tahu bahwa “Yesus adalah Juru Selamat.” Kalau definisi kita adalah “kita ini pelayan”, maka orang percaya adalah “orang yang aktif melayani”. Namun kalau kita melihat definisi “sahabat”, lain lagi. Disini, Sahabat adalah orang-orang percaya yang memperlakukan orang asing sebagai saudara.

GEREJA YANG INOVATIF & BERSAHABAT: SEBUAH KENISCAYAAN

Melalui visi ini, GKI Denpasar paling tidak hendak menyatakan diri untuk ingin tetap relevan di tengah dunia ini dengan mencoba melakukan inovasi-inovasi tertentu dalam pelayanan. Sambil menghayati bahwa inovasi adalah sebuahkerangka berpikir (mindset) bagi Gereja reformasi seperti halnya GKI dan juga sebuah kesempatan untuk meraih peluang-peluang pelayanan yang selama ini mungkin terabaikan. Inovasi bukan hanya dilakukan pada level kegiatan, tetapi bahkan juga pada level identitas diri. Bahwa GKI Denpasar ingin menjadi sahabat bagi semua orang, bahkan orang asing sekalipun. Relasi persahabatan yang saling mengisi, menopang, menguatkan, menolong; sebuah relasi persahabatan yang kuat dan memberi pertumbuhan bagi satu dengan yang lain. Menghayati bahwa ini adalah sebuah proses untuk terus berusaha menjadi sahabat-sahabat Allah dan juga sahabat bagi seluruh ciptaan.

MISI (I):
MENGEMBANGKAN KEPEMIMPINAN SAHABAT
DALAM ORGANISASI PELAYANAN

Penjelasan:
Untuk dapat mewujudkan visi GKI Denpasar, khususnya yang terkait dengan relasi persahabatan, maka misi yang pertama ini secara bersengaja berfokus pada aspek kepemimpinan. Aspek ini dipilih karena pada umumnya karya pelayanan gerejawidiinspirasi dari para pemimpinnya, baik secara kelembagaan (Majelis Jemaat & Badan Pelayanan) maupun secara personal. Hal ini juga berangkat dari sebuah pemahaman bahwa betapa vital peran kepemimpinan gerejawi dalam sebuah organisasi pelayanan. Baik atau buruknya pelayanan & juga banyak-sedikitnya persoalan gerejawi, biasanya, berawal justru dari para pemimpinnya. Oleh karena itu ada sebuah kerinduan bahwa iklim persahabatan di GKI Denpasar dapat dimulai dari para pemimpinnya, dan tentu ada sebuah pengharapan lanjutan, bahwa pada akhirnya yang dipimpin dapat terinspirasi oleh para pemimpinnya.
Misi ini mengandaikan bahwa para pemimpin di GKI Denpasar dapat menghayati sekaligus menghidupi jiwa dari konsep kepemimpinan sahabat yang sebetulnya telah dihayati GKI sejak lama. Jika mengutip Mukadimah Tata Gereja GKI, alinea 5, disitu dikatakan bahwa: “Hubungan antara pejabat gerejawi dan anggota gereja bukan merupakan hubungan yang hierarkis, melainkan hubungan fungsional yang timbal balik dan dinamis, dialasi oleh kasih.” Melalui bagian ini kita dapat memahami bahwa konsep kepemimpinan GKI sejatinya dijiwai oleh semangat kesetaraan & kolektif-kolegial, bukan hierarkhis ataupun feodal (tuan-hamba). Oleh karena itulah dalam misi pertama ini dipakai kata “mengembangkan”, bukan “membuat” ataupun “merancang”, karena GKI sesungguhnya telah memiliki jiwa kepemimpinan sahabat itu.
Kepemimpinan berdasarkan model relasi persahabatan ini terinspirasi dari kepemimpinan yang dilakukan oleh Yesus semasa Dia melayani di tengah dunia, yang terdapat dalam Injil Yohanes 15:15: “Aku tidak menyebut kamu lagi hamba, sebab hamba tidak tahu, apa yang diperbuat oleh tuannya, tetapi Aku menyebut kamu sahabat, karena Aku telah memberitahukan kepada kamu segala sesuatu yang telah Kudengar dari Bapa-Ku.” Sebuah konsep kepemimpinan yang mengutamakan sisi egaliter & kehangatan relasi.
Strategi:
a. Pengembangan kapasitas kepemimpinan sahabat Majelis Jemaat & pengurus Badan Pelayananb. Komunikasi intensif dalam rapat-rapat koordinasic. Keakraban antara MJP & pengurus Badan Pelayanand. Perlawatan MJ kepada pengurus Badan Pelayanane. Persekutuan rutin BPH Majelis Jemaat & BPH Badan Pelayanan

MISI (II):
MEWUJUDKAN PELAYANAN IBADAH
YANG INOVATIF & RELEVAN

Penjelasan:
Jikalau Gereja ingin tetap relevan, maka Gereja nampaknya juga harus berani untuk menginovasi diri agar tetap bisa eksis di tengah dunia ini. Hal ini mutlak diperlukan, karena berdasarkan Mukadimah Tata Gereja GKI alinea 6, disitu dikatakan bahwa: “Misi gereja itu dilaksanakan di tengah-tengah situasi yang senantiasa berubah dan berkembang.” Pelayanan yang inovatif adalah salah 1 (satu) kunci untuk merespon konteks zaman yang “senantiasa berubah dan berkembang” itu. Gereja harus berani membuka diri dengan hal-hal baru, senantiasa menginovasi dirinya, khususnya dalam penyelenggaraan ibadah gerejawinya. Kata “ibadah” dalam misi kedua ini mencakup kegiatan-kegiatan peribadahan yang ada di GKI Denpasar, baik dari kebaktian umum, kategorial & sektoral.
Yang juga perlu dipahami bersama, kata “inovatif & relevan” harus dimaknai secara satu kesatuan. Bahwa inovasi-inovasi yang dilakukan haruslah relevan, baik relevan dalam artian berdasarkan kebutuhan & pergumulan jemaat, maupun relevan dengan identitas GKI. Hal ini perlu dihayati bersama agar inovasi-inovasi yang dilakukan bukanlah inovasi-inovasi liar tanpa dasar pertimbangan konteks jemaat & melupakan identitas GKI sebagai sebuah gereja reformasi yang memiliki konsensus ajaran & tata gereja.
Strategi:
a. Kebaktian minggu bernuansa etnik secara rutinb. Kebaktian streaming yang variatif c. Kebaktian intergenerasional pada hari raya gerejawi tertentud. Tema-tema kotbah yang kekiniane. Pelayan ibadah yang melibatkan jemaat intergenerasional

MISI (III):
MEWUJUDKAN KOMUNITAS YANG BERSAHABAT
BAGI SELURUH CIPTAAN

Penjelasan:
Ketika kita berbicara mengenai persahabatan, maka tidak bisa tidak yang akan terbayang dalam benak kita adalah sebuah relasi yang egaliter, hangat & penuh cinta. Imajinasi itu yang juga seharusnya hadir dalam komunitas gerejawi. Mengapa sangat penting bagi kita untuk mengimajinasikan dan mengusahakan sebuah persekutuan gerejawi yang berwajah persahabatan? Tidak lain karena gereja selalu berakar pada persekutuan Allah Trinitas sendiri. Gereja adalah ciptaan dan milik Allah yang kita kenal di dalam Kristus melalui kuasa Roh Kudus. Persahabatan adalah watak mendasar dari persekutuan Allah Trinitas, yang kemudian meluas dan tercurah bagi ciptaan dan menjadi watak dasar dari komunitas gerejawi pula.
Yang juga perlu diingat, gereja haruslah menjadi komunitas yang bersahabat bukan hanya dengan saudara-saudara seiman (atau segereja), tetapi juga dengan mereka
yang berada diluar tembok gereja, bagi seluruh ciptaan. Tembok gereja tidaklah boleh membuat kita menjadi sebuah komunitas yang eksklusif dalam artian yang negatif, yaitu menutup mata dengan kondisi diluar sana. Hal ini senada dengan yang dihayati GKI dalam Penjelasan Mukadimah Tata Gereja GKI alinea 10.1, disitu dituliskan bahwa: “GKI terpanggil untuk mengusahakan kesejahteraan –yaitu syalom– yang berisikan keadilan, perdamaian dan keutuhan seluruh ciptaan. Untuk mewujudkannya, GKI harus membuka diri bersedia bekerja sama dan berdialog dengan semua pihak dan golongan yang berkemauan baik.”
Strategi:
a. Komunitas-komunitas kecil berbasis sektorb. Proaktif dalam kerjasama lintas agamac. Pelayanan diakonia bagi kelompok terpinggirkand. Kegiatan pemberdayaan ekonomi digital bagi jemaate. Menjangkau jemaat muda melalui kegiatan-kegiatan kreatif non konvensionalf. Kegiatan & gerakan ramah lingkungang. Crisis Center sebagai media pelayanan bagi jemaat & masyarakat

Salam,
Yoel Ang

Scroll to Top